Yang baru baca, biar nggak bingung ceritanya bisa cek Part I - 4 di siniya
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Penyakit insom gue balik lagi setelah beberapa bulan ini mulai membaik. Semalam bahkan gue nggak bisa tidur sama sekali, gue tahu sebesar itu efeknya sama diri gue tentang fakta baru dari Disa. Dia bisa mengendalikan gue, itu yang gue tahu sejak mengenalnya dan belum ada perempuan manapun bisa bikin gue kayak gini. Setelah bertahun-tahun gue hanya have fun dengan perempan mana aja yang mau sama gue, hidup berasa ringan. Tapi seringan itu bikin hidup gue nggak ada point nya. Dan kemdian dia datang, memberkan gue point yang gue cari selama ini. Wah gue benci kalo udah ngrasain hal-hal semacam ini. Terakhir gue ngrasain ini gue bakal berjuang mati-matian buat dapatin point yang gue cari dan begitu dapat gue dihancurin gitu aja. Sudah hamper lima tahun lebih dan gue masih saja ingat.
Jujur gue kaget dengan apa yang baru gue tahu tentang Disa, tapi lebih dari itu pensaran gue mengalahkan segalanya. Sudah beberapa hari sejak Disa mengatakan bahwa Naya adalah anaknya, dia susah dihubungi dan gue kesulitan bertemu dengan nya. Dia jarang di Unitnya, udah nggak pernah berenang pagi-pagi di rooftop lagi, pas gue samperin di kantor dia selalu nggak ada. Oke dia sukses menghindar dari gue beberapa hari ini, tapi gue nggak kehabisan akal. Gue menghubungi dia melalui pak Teddy, ya cara gue licik tapi hanya itu sekarang yang terfikirkan.
“ Hai.” Sapaan itu datang bersamaan dengan sosok yang memenuhi isi otak gue belakngan ini. Dia langsung duduk berhadapan dengan gue dan menaruh tas tangan nya di kursi sebelah. Kita janjian di tempat makan dekat kantor nya. Itu pun setelah gue harus banget minta ijin sama Pak Teddy buat ajak dia keluar.
“ Pinter ya sekarang, bikin janji nya melalui pak Teddy. Dia atasan ku bukan asisten ku.”
Gue cuman tersenyum menanggapinya. “ Nggak tahu pakai cara apalagi, loe ngilang gitu aja.”
“ Loe tahu dimana gue tinggal, loe tahu dimana gue kerja.”
“ Dan loe tahu banget gue bakal nyari kesana jadi loe nggak ada di sana.”
“ Saya dikantor setiap jam kantor pak Devan.”
“ Disa Please, susah susah gue nyari cara buat ketemu loe bukan buat berantem nggak penting kayak gini.”
“ Terus.”
“ Kita butuh bicara sebagai orang dewasa. Dari awal gue bilang gue tertarik sama loe, bukan berarti gue tahu satu sisi hidup loe yang lain kemudian loe menghindar seperti ini.”
“ Gue nggak menghindar.” Potong nya cepat.
“ Terus.”
“ Gue cuman ngasih loe waktu buat berfikir lagi.”
Dia ngasih jeda, gue juga nggak mau bicara dulu. Gue diam. Saat yang bersamaan waiters datang membawa buku menu, gue cuman memesan apapun yang pertama kali gue baca di buku menunya. Caramel latte sementara Disa hanya memesan air putih dan chees muffin.
“ Loe bukan tipikal yang suka dengan keseriusan its mean perasaan.” Dia membuka percakapan lagi. “ Begitu loe bilang tertarik sama gue dan loe ngontrol diri untuk tidak nyium gue waktu di apartemen, gue mulai perfikir kalo loe lagi nggak main-main sama gue. Makanya gue bolehin loe tahu tentang gue dan Naya.”
Dia berhenti bicara ketika waiters kembali datang membawa minuman pesanan kami.
“ Gue ngasih jeda waktu buat loe berfikir kembali, dengan kondisi gue yang sekarang.”
“ Its mean loe nagsih gue kesempatan buat lebih deket lagi sama loe?”
Dia mengangguk, walaupun gue lihat dia dengan keraguan.
“ Kalau Naya nggak jadi masalah buat loe. Gue juga nggak akan ngebiarin Naya dekat dengan sembarang orang.” Tambahnya.
“ Loe tahu apa yang ada dalam pikiran gue setelah malam itu?” pertanyaan retoris. Disa paham, jadi dia hanya diam menatap gue dengan tatapan khas nya dia.
“ Gimana caranya gue bisa kenalan sama Naya. Dia cantik banget.”
Disa tersenyum lebar, dan gue lega mengetahuinya. Beneran gue nggak pernah ngrasain selega ini dapat senyuman dari perempuan.
“ Loe masih berhubungan dengan mantan suami loe untuk mengurus Naya?”
Jawaban Disa terpotong kembali dengan waiters yang datang membawa Muffinnya. Setelah waiters itu pergi Disa masih belum menjawab malah menghabiskan muffinya.
“ laper ya?” Tanya gue. Dia mengangguk masih menikmati muffin nya.
“ Mau pesen makan?”
“ Gue kudu balik lagi ke kantor.”
“ Jawab dulu.”
“ Apa?”
“ Hubungan loe sama matan suami loe.”
Dia berhenti sebentar, Nampak sedang berfikir.
“ Gue belum pernah punya suami.”
Gue mengeryit, dia apa?
“ Maksutnya.”
“ Hampir.” Dia keliatan gugup dan ini pertama kalinya gue lihat dia kayak gitu. “ Gue udah ditunggu team gue nih, ada meeting penting. Loe balik ya.”
“ Jelasin Dis.”
“ Oke gue jelasin, kita ketemu setelah gue selesai kerja.”
“ Gue tunggu dimana?”
“ Loe balik aja ke apartemen, nanti gue nyusul.”
***
Disa menepati janjinya untuk datang menyusul ke apartemen gue ketika jam sudah menunjukan pukul sepuluh lebih. GUe udah setengah mati penasarn nungguin dia datang ngasih penjelasan. Sambil nunggu itu gue ngerjain apapun yang bisa ngalihin pikiran termasuk pergi ngegym ke sport center di lantai bawah dan baliknya barengan dengan Disa yang baru mau masuk lift mau ke atas.
“ Kok baliknya jam segini banget.” Protes gue begitu kita sampe di flat.
“ lagi banyak project.”
“ Kamu mandi, aku pesenin makan. Belum makan kan.”
Dia hanya duduk di sofa ruang tengah sambil melepas blazernya menyisakan kemeja putih tanpa lengan. Dia mulai mengikat rambut sebahunya ke atas dan seperti biasa kegiatan perempuan mengikat rambut adalah kegitan favorit gue. Gue menikmati pemandangan ini. Dia seksi banget sumpah, otak gue jalan jalan kemana-mana.
“ Boleh ya mandi sini?”
Gue tertawa mendengarnya. “ Pakai kamar mandi luar kalau risih pakai kamar mandi gue. Gue ambilin handuk baru.” Gue berjalan ke arah kamar dan mengambil handuk. Sementara dia mandi gue pesenin makan melalui room service.
“ Kenapa pindah dari apartemen? Tanya gue sambil perhatiin dia menikmati cream soupnya setelah selesai mandi dan ganti baju. Nggak sepenuhnya ganti baju sih karena dia cuman pakai kaos gue yang kebesaran dibadannya.
“ Jatah sewa nya cuman satu bulan aja. Kok tahu kalauu gue udah pindah.”
“ Gue yang punya gedung ini, gampang kan cara nyari tahunya.”
Dia memandang gue nggak percaya kemudian tertawa. “ Waaahh sombongnya.”
Dia menghabiskan cream soup dan membawa mangkuk nya ke bak cuci. Gue ngintilin dia di belakang kemudian duduk di kursi bar sambil menunggu dia selesai mencuci.
“ Dis.”
“ Hemm”
“ Mau ya tinggal di sini.”
“ Tinggal bareng? Sama loe? Disini?” dia geleng-geleng.
“ Gue kasih kesempatan buat kenal gue lebih jauh bukan berarti gue kasih ijin buat tinggal bareng juga ya.”
“ Bukan, lagian GR banget. Tingal di apartemen loe yang dulu.”
“ Kontraknya udah selesai Dev. Gue cuman dapat jatah satu bulan sewa dari kantor karena proyek yang di pandanaran itu.”
“ Bisa diperpanjang kok.”
“ Enggak ah, boros.”
“ Tinggal nempatin doang, nggak usah pikir biaya sewa nya.”
Die menyelesaikan mangkuk terakhirnya kemudian berjalan ke arah gue.
“ Gue masih mampu buat sewa bulanannya, makasih.”
“ Terus?”
“ Masih pengen nempatin apartemen gue yang lama di Gajah Mada.”
“ Tinggal berdua sama Naya?”
“ Naya sehari-hari sama Ibu di rumah. Gue ketemu Naya kalau weekend aja pas nggak ada jadwal kerja atau luar kota.” Dia kembali membuka kichen set.
“ Mau teh apa coklat hangat? Gue lihat di kulkas ada banyak coklat.” Tawarnya sambil memeriksa isi kulkas.
“ Coklat.”
Dia mengangguk kemudian mengambil coklat batangan dari kulkas.
“ Ceritain tentang loe sama Naya.”
Dia masih sibuk dengan air hangat dipanci dan teh nya. Sepertinya dia memilih menyedu teh.
“ Gue janda bukan, perawan juga bukan, tapi gue punya anak dan gue belum pernah punya suami. Gue bingung nyeritain diri gue.” Dia memberikan secangkir coklat panas dan gue terima. Dia berjalan melewati gue dan berhenti di sofa ruang tengah sambil menikmati teh nya.
“ Ceritain tentang Naya aja kalau begitu.” Gue menyusul bergabung dengannya di ruang tengah.
“ Dia sudah sembilan tahun, sekarang kelas 4 SD.” Dia menyesap kembali tehnya.
“ Bagaimana bisa loe ngurus dia sendiri sampai sebesar itu?”
Dia mengambil jeda sebentar. “ Bapaknya nggak mau tanggung jawab, kabur gitu aja sampe sekarang gue nggak tahu di mana. Gue harus bergantung sama siapa lagi buat nguatin diri kalau gue sendiri nggak diterima dikeluarga besar gue. Gue bahkan belum lulus SMA ketika gue tahu kalau gue lagi hamil. “
“ Keluarga kamu?”
“ Nggak bisa diharepin. Gue dibuang karena takut nama keluarga gue tercoreng. Gue cabut dan hidup di kota ini.”
“ Sebelumnya di?”
“ Jakarta.”
“ Masih kontak dengan keluarga?”
“ Keluarga gue? Nggak sama sekali.”
Gue diam merhatiin dia lekat-lekat kali ini. Dia nggak mengelak tatapan gue ataupun membalas, dia hanya diam merhatiin gue. Gue tahu dia memendam sesuatu, matanya mulai berkaca-kaca. Gue meraih kepalanya ke pundak gue.
“ Loe gimana?” dia mulai bersuara lagi.
“ Heemm, gue?” gue menunduk merhatiin wajahnya.
“ Ceritain tentang elo.”
Gue menyandarkan punggung ke sofa dan mencari posisi nyaman. Dia masih menyandarkan kepalanya di bahu gue, gue suka.
“ Gue laki-laki brengsek yang lagi jatuh cinta sama perempuan baik-baik dan luar biasa.”
Dia mendengus mendengarnya, gue cuman tersenyum.
“ Seberapa brengsek?”
gue mengusap tengkuk sebentar, bingung mau jelasin kelakuan minus gue selama ini. “ Lebih brengsek dari yang bisa loe bayangin. Mungkin.” Jawab gue nggak yakin.
“ Tapi sebrengsek apapun gue, belum pernah hamilin anak orang terus ditinggalin gitu aja. Kalaupun harus nidurin perempuan itu karena dasar sama-sama mau.”
Dia terdiam sebentar. GUe juga belum pengen ngelanjutin cerita gue, lebih milih nunggu reaksi dia seperti apa. Kenyataannya emang gue seberengsek itu. Tapi sebrengsek apapun gue nggak pernah maksa perempuan manapun buat tidur sama gue, sebelum sampai kasur kita sudah sama-sama sepakat bahwa itu emang kebutuhan kita. Jadi ngga ada yang dirugikan setelah itu. Diluar kelakuan minus gue yang itu, selebihnya gue rasa gue baik-baik aja.
“ Seberapa sering having sex sama perempuan diluaran sana?” dia mulai bersuara lagi. Tenang, nggak seperti dugaan gue. Berati aman.
“ Kalau pas pengen aja sih, nggak tiap minggu juga. Cara pelampiasan gue emang salah, tapi sejauh ini cuman itu yang berhasil buet gue relax lagi.”
Dia hanya terseyum menanggapinya. Gue sedikit lega, itu sinyal kalau kelakuan gue setidaknya bisa diterima kan? Semoga.
“ Terakhir kapan?”
gue berfikir sebentar mengingat-ingat.
“ Sejak Pindah sini, sejak ketemu loe tepatnya.”
“ kenapa gitu?”
“ Gue juga ngga tahu, tiap ke Club sama Ius bawaanya males nidurin perempuan. Lebih pengen tidur sama loe dari pada perempuan random di club.” Jawab gue sekenanya. Dia nyubit perut gue yang hanya gue balas dengan cengiran lebar.
“ Gue memang bukan laki baik-baik, nggak bisa dibilang buruk juga. Ya seingat gue minus moral gue cuman disejarah sex aja. Selebihnya gue bisa pastiin baik-baik saja. Keberatan sama masalalu gue yang awur-awuran itu?”
dia mengambil kepalanya dari pundak gue kemudian menatap gue.
“ Enggak. Gue juga punya masa lalu nggak baik. Semoga loe juga bisa nerima.”
" Udah gue terima sebelum loe tanya."
Disa tersenyum kemudian meraih remote TV yang tergeletak di meja kopi sebelah. Dia menyalakannya dan memilih saluran televisi.
“ Keluarga loe di mana?” dia masih sibuk nyari saluran telivisi dan gue merhatiin wajahnya dari samping.
“ Keluarga loe di mana?” dia masih sibuk nyari saluran telivisi dan gue merhatiin wajahnya dari samping.
“ Di Jakarta. Oh iya, Lusa gue balik ke Jakarta.”
“ Nggak di Semarang lagi?”
“ Ya balik sini, kan sekarang punya pacar orang sini. Cuman dua hari disana ada acara tunangan adek.”
“ Oh, adek laki apa perempuan?”
“ Perempuan. Gue punya satu kakak perempuan dan satu adek perempuan. Jadi paling ganteng setelah papa kalo di rumah.”
“ Dan loe dekat dengan mereka?”
“ Keluarga gue? Ya iyalah. Gue yang bertanggung jawab dengan keluarga kalau nanti papa kenapa-kenapa. Papa udah tua soalnya, tapi tetep aja ngga pernah mau ngalah sama gue.”
“ Red Ocean itu, bisnis keluarga loe?”
“ Bukan, Red Ocean murni hasil kerjaan gue sama temen-temen dekat. Kita bangunnya dari nol banget. Sama sekali ngga ada campur tangan orang tua gue, kecuali orang tua temen sebagai investor pertama pada awal berdirinya R.O.”
Disa mendongak menatap gue, lembut. Tiba-tiba pipi gue jadi menghangat. Gue usap pipi Disa beberapa kali, dan dia cuman senyum.
" Gue boleh nanya tentang masa lalu loe? " pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut gue. Kenapa harus itu sih, kenapa nggak nanya gue boleh nyium dia apa enggak sih. Dasaarr.
" Apapun asal jangan nanya tentang bapaknya Naya."
Gue mengangguk antara mengerti dan menyesali kenapa pertanyaan itu yg keluar.
" Tadi siang loe bilang sempet hampir menikah. Kenapa hanya hampir?"
Dia tersenyum sebentar kemudian menyandarkan kembali kepalanya ke pundak gue.
" Karna rencana pernikahan itu ditentang sama keluarga pihak sana."
Oh, oke gue ngerti. Gue nggak mau nanya lagi tentang itu. Kayaknya bakal bikin Disa sedih.
" Gue sadar posisi gue yg sekarang nggak gampang diterima orang begitu saja. Jadi guebjuga harus siap-siap kalau suatu saat keluarga loe juga akan menolak."
Dada gue langsung sesek dengernya. " Jangan dipikirin yang kayak gitu dulu ah, baru juga mulai." Gue usap kepala Disa berusaha menenangkan. Ya menenangkan dia, ya menenangkan pikiran gue juga. Gue jadi inget papa sama mama gue, gimana reaksinya kalo tau tentang Disa. Gimanapun juga menikah itu bukan tentang gue sama pasangan gue aja kan, tapi melibatkan keluarga dan lain-lainnya.
Yah pikiran gue udah lari kenceng aja mikirin nikah. Dan ya, ini pertama kalinya gue kepikiran tentang pernikahan juga. Damn!!