Perjalanan Jepara, Rembang dan Blora dengan 16 WNA


Kamu pasti pernah punya perjalanan yang even itu simple tapi menurut kamu itu yang paling istimewa dan susah dilupain gitu aja. Yang bikin kayak gitu biasanya selain lokasi yang dikunjungi juga dengan siapa kita ke sana. Jalan-jalan sama keluarga selalu menjadi istimewa, tapi sesekali coba jalan-jalan dengan teman dekat atau bahkan dengan orang yang sama sekali belum pernah kita kenal juga bisa bikin jalan-jalan kita berkesan.
 
Nah, cerita perjalanan ini menjadi yang paling susah dilupain gitu aja versi ku. Perjalanan pertama dengan orang asing yang bener-bener asing karena juga dari warga negara asing. 
Perjalanan ini sekitar satu bulan yang lalu, tanggal 17, 18 dan 19 September 2017 kalau nggak salah tanggalnya. Tiga hari bersama dengan 16 WNA, ada yang dari beberapa negara daerah Afrika, ada yang dari Prancis, ada yang adari USA, Vietnam, Malaysia, dan Libia.

Perjalanan ini juga membawa misi kayak perjalanan-perjalanan sebelumnya. Ingin mengenalkan potensi wisata Jawa Tengah ke beberapa mahasiswa/i asing dari Undip. Harapannya tentu saja mereka bisa membantu memviralkan potensi wisata kita ke negeranya. Ini program Pesona Indonesia dari Dinas Pemuda, Olahraga dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. Dan posisi ku berada di sana sebagai perwakilan Genpi (Generasi Pesona Indonesia).

Kabar perjalanan ini aku dapat  malam hari sekitar jam sepuluh malam padahal jadwal berangkatnya besok paginya dan itu jam tujuh banget. Jadi nggak ada persiapan apapun dan hanya bawa baju seadanya. Ehem, jujur biasanya kalo aku mau jalan-jalan suka udah nyiapin baju mana aja yang akan di bawa dan bawa perlengkapan lengkapnya. Jadi malam itu grusa grusu banget packingnya.

Emang diinfo kalau trip kali ini dengan beberapa mahasiwa asing dari Undip sih, tapi ngga diinfo kalau orang lokalnya cuman tiga orang (diluar dari disporaparnya sendiri yang punya famtripnya). Aku, temen Genpi dari Solo dan dari media Phinemo dan dari ketiga itu ternyata nggak bisa-bisa banget bahasa Inggris. Ada TL dan translatornya sih, tapi tetep aja sempet bikin keder waktu pertama perkenalan diri kesemua peserta di bus.

Bersyukur bahwa dari ke 16 WNA itu ternyata ada yang udah bisa bahasa Indonesia dengan baik,Owen namanya. Dia lahir di Brasil dan besar di Florida. Waktu perkenalan dia pakai bahasa Jawa malah, dan sepanjang perjalanan menuju destinasi pertama itu dia dengan percaya diri karaoke lagu-lagu dangdut jawa kayak Ditinggal Rabi, Bojo Galak, Jaran Goyang dan Sayang. Setelah itu suasana di bus mulai cair, aku mulai bergaul dengan mereka meski bahasa inggris ku pas-pasan.

Jepara 


Destinasi pertama trip ini ada di kota ukir Jepara. Tempat yang kita kunjungi ada di tempat pembuatan tenun asli Jepara, troso. Kita bisa melihat secara langsung bagaimana para pekerja membuat tenun dari proses nyepul atau bahasa gampangnya itu menggulung benang yang sudah diwarna dan akan ditenun, setelah ngepul proses dilanjutkan dengan proses sekir dan seterusnya sampai selesai menjadi sebuah kain tenun siap pakai.

Sayangnya di tempat ini kita nggak ada pemandu yang bisa jelasin ke kita proses-prosesnya dari awal sampai selesai. Jadi kita muter-muter nyari tahu sendiri ke pekerjanya dan waktunya di sana nggak lama. Jadi masih belum puas sebenarnya buat nyari info tentang tenun troso di sana. Tapi karena agenda kita hari itu emang padet jadi ya emang harus melanjutkan ke tempat lainya.

Selanjutnya kita diajak ke kampung ukir yang ada di desa Petekeyen Jepara dan telah dikukuhkan menjadi desa wisata untuk wisatawan yang mau belajar mengukir. Sayangnya lagi perjalanan kita ke sananya juga nggak ada yang mandu, kita hanya dibiarkan jalan-jalan sendiri dan melihat-lihat mebel ukir yang ada di sana.


Namanya juga desa ukir, jadi sepanjang jalan desa itu hampir semua memiliki bengkel ukir di depan. Kita bisa keluar masuk dari bengkel satu ke bengkel sebelahnya buat lihat-lihat hasil karya ukir masyarakat Jepara yang udah terkenal seluruh Nusantara bahkan sampai ke luar negri. Bisa belajar mengukit sekalian sih, cuman pas kemaren rombongan ke sana pas jam makan siang gitu dan beberapa bengkel sepi. Mungkin pekerjanya masih pada istirahat. Jadi sekali lagi kunjungan ini agak sayang juga sih.

Setelah dari desa Petekeyen, perjalanan dilanjut lagi menuju pantai Kartini dan Bandengan. Selain terkenal dengan tenun dan ukirnya, Jepara juga terkenal dengan pantai Kartini-nya karena memiliki dermaga penyebrangan menuju Pulau Karimunjawa.


Nggak banyak yang bisa dilakukan di sana juga sih karena sampai sana jam 2 siang banget dan panasnya ampun-ampunan. Mau maen di pinggiran pantai nggak mungkin, apalagi berenang di sana. Kita cuman muter-muter lihat daerah sekitar. Ada museum kura-kura sih yang bisa di eksplore, tapi siang itu nggak ada yang mau nemenin masuk jadi nggak berani sendirian juga. Kalau mau masuk museum kura-kura di sana bayarnya cuman 15.000 aja dan katanya di dalam ada banyak satwa air yang dipamerkan.

Di pantai kartini nggak lama juga, karena setelah itu kita mau langsung ke pantai sebelah. Pantai Bandengan. Cuman karena deket sama penginapannya juga jadi jadwal diubah check in di penginapan dulu sambil istirahat nunggu agak sore sekalian eksplore pantai Bandengan. Kita menginap di hotel D'e Season Prepier Jepara, lengap kayak gimana review hotelnya bisa Klik Di Sini

Rembang

Hari ke dua perjalanan ini diteruskan ke kota Rembang.  Akan ada empat lokasi yang akan dikunjungi tapi karena perjalanan dari Jepara ke Rembang cukup menghabiskan banyak waktu jadi satu lokasi terpaksa di cancel. Sayangnya lokasi yang di cancel adalah lokasi yang bener-bener pegen aku datangi, museum R.A Kartini. 


Jadi setelah jam makan siang itu kita baru sampai di tujuan pertama, rumah candu. Rumah Candu atau Rumah Lawang Ombo ini ada di jalan Dasun, desa Soditan Kec. Lasem, Kabupaten Rembang. Rumah candu tersebut menyimpan banyak cerita tentang penyebaran Candu dan keluarga Kapten Liem sebagai pemilik rumah. Cerita yang paling terkenal tentang rumah candu itu adalah lubang bediameter kurang lebih 1 meter yang dijadikan jalur penyebaran opium melalui bawah tanah.



 Selain lubang candu ini, ada beberapa cerita menarik tentang rumah candu di sana. Akan aku tulis di postingan yang berbeda biar nggak terlalu panjang dan membosankan. 

Setelah puas berkeliling rumah candu dan ngobrol dengan keturunannya Kapten Liem yang kemaren turut datang menyambut rombongan kita, selanjutnya kita berpindah ke sebuah klenteng yang sangat tua terletak tidak jauh dari Rumah Ombo.


 Kelenteng Cu An Kiong ini jaraknya tidak jauh dari rumah candu, sekitar 200 meteran mungkin dan masih aman buat ditempuh dengan jalan kaki. Kelenteng ini merupakan yang tertua di Pulau Jawa dan di depan kelenteng ini katanya Laksamana Cheng Ho pernah mendarat. Ada yang menyebutkan kelenteng ini dibangun sejak tahun 1335 dan sampai sekarang mayoritas bangunan kelenteng tersebut masih asli.

Keliatan kan gapura depan kelenteng ini, yang terdapat dua patung singa berwarna emas dan diatasnya ada penjaga masing-masing membawa senjata. Menurut pemandu yang ada di sana, patung tersebut adalah Bi Nang Un dan istrinya. Mereka adalah tokoh tiongkok yang berbaur bersama masyarakat dan mengajarkan batik. Jadi dua tokoh tersebut punya peran cukup penting tentang berkembangnya batik lasem.

 Setelah dari kelenteng Cu An Kiong perjalanan berlanjut ke sebuah workshop pembuatan batik asli Lasem.



 Ini Hakim namanya, dia dari Libia dan sedang kuliah S2 ilmu keshatan di Undip. Dia suka banget dengan batik Indonesia, kemaren dia belajar membatik di sana. Di workshop ini kita emang bisa langsung belajar secara langsung cara pembuatan batik Lasem. Aku pernah nulis tentang proses pembuatan batik saat di Pekalongan, bisa di Klik Sini kalau mau tau caranya. Sama sih dengan pebuatan batik-batik lainya, cuman yang membedakan hanya motif saja.
Setelah belajar membatik itu perjalanan dilanjutkan menuju kota Blora.

 Blora

Di kota Blora kita eksplore kilang minyak yang masih tradisional di sana  dan berkunjung ke desa samin. Kilang minyak tradisional ini ada ditengah hutan di kecamatan Sambong desa Ledok. Walaupun tengah hutan, jalan menuju ke sananya sebagian sudah di aspal sih jadi jangan khawatir tentang akses jalan ke sananya. Lokasi penambangannya masih sangat alami, masih berupa sumur-sumur bor dan cara menarik minyaknya masih manual. Kita sempet keliling dari sumur satu ke sumur selanjutnya karena ada beberapa sumur yang dikelola warga dan beberapa oleh Pertamina. Rencananya tempat kilang minyak tersebut akan dijadikan wahana wisata edukasi kedepanya.

Setalah cukup berkeliling dan melihat bagaimana proses mengambil minyak bumi secara manual, perjalanan berlanjut ke desa samin. Sebenernya samin ini bukan suatu desa sih, lebih tepat mungkin kalau disebut kelompok gitu. Karena nama desanya sendiri ada di dukuh Karangpace, desa Klopoduwur, kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora. Samin sendiri adalah nama orang yang dulu mengajarkan tentang ilmu kebatinan dan politik jaman melawan penjajahan Belanda. Memang dalam ajaranya itu sedikit nyleneh dari kebiasaan warga sekitar, tapi pada dasarnya ajaran itu baik karena untuk melawan penjajahan kala itu. Nama dari pembawa ajaran itu adalah Samin Surosentiko.

Sampainya kita di sana dapat sambutan yang hangat dan meriah karena sebagian warga desa datang bersalaman dan menyanyikan lagu khas sana. Kemudian berkumpul di sebuah balai dan kita dijamu makan siang kemudian saling berbincang. 

Tentang masyarakat samin ini,  mungkin akan aku tulis secara terpisah di postingan selanjutnya biar nggak kepanjangan.

Kesan Selama Perjalanan

Jadi kenapa aku tulis ini menjadi salah satu perjalanan yang nggak akan terlupakan adalah karena ini pertama kalinya jalan-jalan bareng orang asing yang bener-bener orang asing karena warga negara asing. Awalnya sedikit canggung buat memulai percakapan karena keterbatasan bahasa, aku nggak jago-jago amat bahasa inggrisnya jadi sempet minder. Cuman aku berusaha ngobrol sebisa aku dan semampu aku menyampaikan maksut ku. Mereka semua baik dan antusias banget dengan Indonesia, beberapa ada yang ke sini hanya untuk belajar bahasa indonesia. Dalam setiap kesempatan aku berusaha buat ngajak ngobrol mereka tentang perbedaan culture yang ada di Indonesia dan negaranya. 

Seperti Alex dari Uganda yang sempat kaget dengan wanita muslim di Indonesia yang ditemuinya nggak mau berjabat tangan untuk berkenalan sedangkan di negaranya wanita muslim sana baik-baik saja mengenai berjabat tangan meskipun berbeda jenis kelamin bahkan kalau ketemu bisa sambil berpelukan. Atau Bosco yang kaget waktu lihat aku minum teh dalam kemasan dingin, di negaranya sana Uganda teh dijual dalam bentuk hangat walaupun cuaca juga lagi panas-panasnya. 
Si Owen dari USA yang sekarang udah fasih banget bahasa Indonesia bahkan jawa, sebel kalau dipanggil-panggil bule. Menurutnya panggilan bule itu sesuatu yang berbeda dengan orang lokal jadi merasa dibedakandan menurutnya itu bentuk pembullyan. Dia suka banget di Indonesia tapi sebel karena macet dan masih banyak orang yang nggak sadar dengan kebersihan.

Banyak banget ilmu dan pemgalaman baru yang aku dapat di perjalanan kali ini bukan hanya dari orang lokal yang ditemui di lokasi tapi juga dari orang luarnya juga. Waktu nulis ini pun aku masih berasa belum bisa move on dari perjalanan yang udah beberapa bulan berlalu itu, syukurnya sampai sekarang aku masih kontak dengan beberapa diantara mereka dan beberapakali ketemu dalam satu acara.



Tinggalkan Komentar anda Tentang Berita ini